Skip to main content

Blog – Siapa Lagi Kalau Bukan Masyarakat Adat Nusantara? AMAN Menjawab Peranan Masyarakat Adat Nusantara dalam Melindungi Hutan

Jakarta, 31 August 2014 – oleh Leoni Rahmawati

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menggelar Pekan Masyarakat Adat Nusantara pada 29-31 Agustus 2014 di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat. Pekan Masyarakat Adat Nusantara ini menjadi penting karena melalui kegiatan ini AMAN hendak menyampaikan informasi kepada publik, tentang kekayaan seni budaya dan tradisi Masyarakat Adat dari berbagai wilayah di Nusantara. Indonesia Nature Film Society (Infis) dengan mengusung tema “Siapa Lagi Kalau Bukan Kita” turut berpartisipasi dalam acara tersebut dengan mengadakan kegiatan pemutaran film dan diskusi mengenai perjuangan masyarakat dalam mempertahankan hutan mereka. Kedua film yang ditayangkan tersebut berjudul, Mama Malin Su Hilang dan Sesepuh.

-

Narasi Film

Film ‘Mama Malin Su Hilang’ (Our Land Has Gone), adalah sebuah film dokumenter pendek yang dibuat dan disutradari oleh Nanang Sujana pada tahun 2008. Mengisahkan tentang Suku Malind Anim di desa Zanegi, Merauke, Papua, Indonesia, suku pemburu yang mengandalkan hutan untuk mata pencaharian mereka. Mereka lahir, dibesarkan dan mendapatkan makanan dari hutan. Seiring waktu keadaan di desa Zanegi, terpaksa berubah akibat ekspansi Medco Corporation yang membabat ribuan hektar hutan milik mereka dan berencana untuk mengkonversi 169.000 hektar lahan untuk dijadikan hutan tanaman industri yang dikenal dengan proyek jutaan hektar MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate). Film ini kemudian menjadi media informasi dan bahan pertimbangan pengambilan keputusan beberapa masyarakat desa lain yang terlibat di dalam proyek MIFE di Merauke.

Sementara film bertajuk ‘Sesepuh’ (The Elders) yang diproduksi oleh AMAN menceritakan tentang kisah beberapa Pemimpin Adat di Indonesia yang berjuang untuk membela tanah leluhur mereka. Tokoh-tokoh seperti Opung Nae Sinta Sibarani dari Sugapa di Porsea, Sumatera Utara, Kakek Badri dari Benakat, Sumatera Selatan, Apai “Janggut” Bandi dari Sungai Utik, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Mama Aleta Baun dari Mollo, Nusa Tenggara Timur dan Datuk Ismail Zen dari Sarolangun, Jambi menceritakan kisah perjuangan mereka melawan agresi pembangunan yang terjadi di sekitar tahun 80 an ketika rezim Soeharto masih berkuasa. Mereka bersama-sama menetapkan jalur baru untuk gerakan Masyarakat Adat yang lebih besar di seluruh Nusantara. Inisiatif mereka ini yang kemudian dengan dukungan dari berbagai jaringan LSM merintis pembentukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada 17 Maret 1999.Per

Peran Masyarakat Adat dalam Mempertahankan Keseimbangan Iklim Global

Abdon Nababan, sekjen AMAN membuka Pekan Masyarakat Adat ini dengan pengantar bahwa dalam beberapa tahun terakhir, hubungan antara Masyarakat Adat di Indonesia dengan pemerintah memang mengalami kemajuan yang cukup menggembirakan. Meskipun perkembangan-perkembangan tersebut cukup menjanjikan, masih terdapat kendala-kendala yang menciptakan jarak antara instrument-instrument internasional dan kebijakan nasional terkait Masyarakat Adat, dengan implementasinya di tingkat komunitas.

“Ada harapan baru Masyarakat Adat nusantara kepada presiden baru terpilih Joko Widodo (Jokowi) untuk memasukan agenda mengenai hak-hak Masyarakat Adat dalam visi dan misinya”

 

-