Skip to main content

“Sallombengan Seko”, Harapan Sekaligus Suara Perjuangan Masyarakat Adat Seko

Tepat pada peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional, pemutaran sekaligus diskusi film  ‘Sallombengan Seko’ diselenggarakan di gedung aula serbaguna IAIN, Palopo, Sulawesi Selatan, Rabu (9/8) malam.

Kegiatan hasil kerjasama Indonesia Nature Film Society (INFIS) dengan ‘Siapa Lagi Kalau Bukan Kita’, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Perkumpulan Wallacea dan BEM IAIN Palopo ini ramai dihadiri oleh mahasiswa dari beberapa universitas di Palopo. Tak hanya itu, penampilan grup akustik IAIN dan lagu ‘Bumi Bukan Hanya Hari Ini’ juga menjadi pembuka acara.

Film ‘Dari Para Leluhur’ dan ‘Penjaga Pulau Jargaria’ menjadi film pembuka sebelum film ‘Salombengan Seko’ ditayangkan. Penonton yang hadir tidak pernah absen bersorak dan bertepuk tangan saat para tokoh dalam kedua film tersebut menyuarakan perjuangannya. Tidak hanya mahasiswa, Masyarakat Adat Seko juga turut hadir dan secara khusus menyanyikan lagu mars Seko sebelum ‘Sallombengan Seko’ diputar hingga semakin membangkitkan semangat para penonton.

Dalam kesempatan ini, ada tiga narasumber yang hadir pada saat sesi diskusi setelah pemutaran film berlangsung. Mereka adalah Mahir Takaka selaku Dewan Aman Nasional sekaligus salah satu putra terbaik Seko, Amisandi sebagai salah satu masyarakat adat seko yang dikriminalisasi dan dibebaskan pada 1 Agustus 2017, dan Ibrahim Massindenreng dari Perhimpungan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).

‘Sallombengan Seko’ berhasil mengumpulkan lebh dari 250 penonton, melebihi ekspektasi penyelenggara yaitu maksimal 150 penonton. Pemutaran film dan diskusi ‘Sallombengan Seko’ diharapkan mampu menyuarakan harapan Masyarakat Adat Seko dan merangkul lebih banyak aksi solidaritas untuk Seko.

“Sepanjang sejarah republik ini, perjuangan masyarakat adat memang mengalami beragam perlakuan termasuk kriminalisasi. Tidak sedikit masyarakat adat yang menjadi korban, ribuan nyawa melayang, ribuan masuk dalam tahanan. Apa yang tadi kita saksikan adalah apa yang terjadi sebagai sebuah ketidakadilan di muka bumi ini” kata Mahir.

Meskipun dikriminalisasi, Amisandi berharap acara ini mampu meningkatkan kesadaran publik, secara lebih luas, mengenai perjuangan masyarakat Seko menolak investasi PLTA yang mengancam kelestarian dan keberadaan masyarakat adat disana.

“Harapan saya, khususnya kami orang-orang Seko, kampanye ini bisa meningkatkan kesadaran kami orang-orang Seko untuk menolak PLTA. Karena kami mempertahankan hak, pusaka, identitas, jati diri, nilai dan sejarah kami sebagai orang Seko. Ini alasan utama kami menolak kehadiran PLTA PT Seko Power Prima di Seko” kata Amisandi.