Ditulis oleh Een Irawan Putra
Sore itu pada hari Rabu (24/05), Hairudin mengambil motornya yang ia antar ke bengkel pada pagi harinya. Ia tidak menyangka total biaya perbaikannya mencapai Rp 1,2 juta. “Ternyata harus turun mesin dan ganti beberapa komponen yang ada didalam mesin” katanya. Hairudin dan dua temannya Muhyuddin Ta’deka dan Ikbal adalah pemuda Seko yang akan mengantarkan perjalanan kami menuju Seko. Perjumpaan dengan Muhyuddin dan Ikbal menjadi kenangan tersendiri karena mereka menyampaikan bahwa akhirnya menemui orang yang telah memotret mereka dan kampungnya disaat mereka masih duduk di bangku sekolah dasar sebelas tahun yang lalu. Mereka menunjukkan beberapa foto yang mereka simpan di laptopnya. Ya, pada tahun 2006 selama 25 hari saya melakukan perjalanan Seko-Rampi. Dari Seko menuju Rampi kami harus berjalan selama 3 hari. Mendaki puncak gunung Takala’ yang ketinggiannya mencapai 2200 mdpl. Karena gunung inilah yang memisahkan wilayah Seko dan Rampi.
Perjalanan kami ke Seko kali ini adalah untuk mendokumentasikan wilayah Seko Tengah yang sejak tiga tahun lalu hingga saat ini masyarakatnya sedang berjuang untuk mempertahankan wilayah adatnya dari rencana investasi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Tidak tanggung-tanggung, respon pemerintah dan perusahaan atas penolakan masyarakat adat Seko ini adalah memasukkan 14 orang masyarakat adat Seko ke dalam penjara. Mereka dianggap sudah menggerakkan ribuan masyarakatnya yang ada di beberapa dusun dan dianggap mengancam keselamatan karyawan perusahaan yang sedang bekerja. Mereka divonis oleh hakim di Pengadilan Negeri Masamba dengan hukuman penjara selama 7 bulan.
Dua hari sebelum menuju Seko, di Masamba, kami mencoba melakukan wawancara dengan 4 orang dari 14 orang warga Seko yang berada di penjara. Mereka adalah Amisandi, Piter Karla, Andri Karyo dan Dominggu C. Paonganan. Untuk bisa melakukan wawancara dan merekam video tidaklah mudah. Banyak prosedur yang harus dilalui. Rekaman yang baru berlangsung sebentar langsung diminta dihentikan. Kepala Rutan Kelas IIB Masamba Efendi Wahyudi meminta kami untuk melakukan izin rekaman video kepada Kepala Divisi Kemasyarakatan Kanwil Hukum dan HAM Sulawesi Selatan di Makassar untuk bisa melakukan wawancara dengan 13 tahanan karena Jaksa mengajukan banding atas putusan hakim dan izin dari Kepala Pengadilan Masamba untuk bisa mewawancarai Amisandi.
Dikarenakan tidak bisa melakukan wawancara dengan masyarakat adat Seko yang ada di penjara. Kami memohon diri untuk bisa melanjutkan perjalanan ke Seko esok harinya. Amisandi, Piter Karla, Andri Karyo dan Dominggu C. Paonganan memberikan beberapa informasi dan masukan kepada kami jika nanti kami sudah tiba di Seko. “Situasi kami saat ini sangat sulit. Pengacara kami untuk 13 orang yang sudah divonis terlebih dahulu tidak melakukan upaya-upaya hukum untuk membela dan memperjuangkan wilayah adat kami. Ia juga tidak mau membuka diri kepada Aliansi Seko Menggugat dan pendamping hukum masyarakat adat lainnya. Proses survey telah selesai April 2017. Saat ini sedang masuk proses pembebasan lahan. Panitia pembebasan lahan sudah dibentuk oleh Bupati Luwu Utara. Bupati sudah memanggil Kepala Desa Tanamakaleang, Kepala Desa Hoyane, Kepala Desa Embonatana dan Kepala Desa Hono ke rumah jabatan Bupati. Jika tetap tidak ada upaya hukum dan perjuangan ini terus dilakukan, kami bisa saja diarahkan kepada PTUN. Klo kami kalah di PTUN dan perusahaan menitipkan ganti rugi di pengadilan, masyarakat adat Seko mau kemana? Bisa saja pemerintah daerah mengeluarkan SK dan dengan persetujuan desa dengan tetua adat yang setuju dengan perusahaan. Kami bisa apalagi? Sia-sia sudah kami masuk penjara. Perjuangan 80% masyarakat adat Seko yang menolak PLTA sia-sia hanya karena ulah beberapa orang” ungkap Amisandi.
Amisandi juga menyampaikan kekhawatirannya terhadap keluarga besar mereka di kampung ketika tidak ada yang mendampingi. Mereka yang cukup vokal dan memahami situasi di luar Seko masih di dalam penjara. “Pendamping hukum untuk 13 orang ini tidak pernah mau ke Seko. Jangankan ke Seko, mengunjungi kami di rutan ini saja tidak. Kami sendiri di masyarakat terus berdiskusi bagaimana cara menghadapi pendamping hukum yang seperti ini. Karena harus membuat kesepakatan bersama jika ingin mengganti pendamping hukum. Inilah kekurangan kami di masyarakat. Situasi kami tidak baik. Kami sangat butuh bantuan dan dukungan. Kami tidak punya kekuatan apapun untuk menolak investasi yang mencapai 25 triliun” katanya.