Skip to main content

Semangat Aksi Solidaritas di Uwong Coffee

Selain di Universitas Gajah Mada (UGM), Indonesia Nature Film Society (INFIS), ‘Siapa Lagi Kalau Bukan Kita’, Mongabay Indonesia dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) juga mengadakan roadshow pemutaran film dokumenter & diskusi. Sallombengan Seko, O’Hangana Manyana, Penjaga Hutan Bumi Jargaria dan Dari Para Leluhur merupakan 4 dari 16 rangkaian film dokumenter yang diputar pada 6-9 September 2017 di Uwong Coffee, Yogyakarta.

Film dokumenter yang menceritakan tentang Masyarakat Adat yang tidak diakui keberadaannya dan terus berjuang dalam mempertahankan wilayah adatnya. Cerita film-film yang diputarkan tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga beberapa negara di Amerika Latin. Tergerak akan perjuangan Masyarakat Adat di Indonesia, penonton antusias dan terus berdatangan semenjak hari pertama. Tidak hanya mahasiswa dari Institut Seni Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta saja yang datang. Namun ada beberapa komunitas Kalesang Artsas (Maluku), Ghostreets, Perpus Jalanan Purbalingga, Aliansi Peduli Petani untuk Hari Tani. Pimred Harian Bernas Icay Taher juga turut hadir malam itu.

Selain pemutaran film, roadshow ikut dimeriahkan oleh penampilan spesial dari Deugalih & Folks, Sisir Tanah dan KePAL SPI. Dengan lirik-lirik yang terinspirasi dari alam Indonesia, musisi-musisi ini berhasil menghibur dan menggelitik tawa penonton yang hadir sampai bersorak dan bertepuk tangan.

Di akhir pemutaran film, dilakukan sesi diskusi yang dimoderatori oleh Tommy Apriando wartawan Mongabay Indonesia. Een Irawan Putra (Excecutive Director Indonesia Nature Film Society) dan Laksmi A. Savitri dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada hadir sebagai narasumber pada sesi diskusi tersebut.

Laksmi A. Savitri mengatakan bahwa masyarakat adat tidak ada bedanya dengan masyarakat lain atau siapapun yang tanahnya dirampas tapi tidak bisa menyebutkan dirinya sebagai masyarakat adat. Kelebihannya adalah mereka masyarakat adat bisa menggunakan identitasnya sebagai cara untuk memperjuangkan haknya. Sementara kelompok masyarakat lokal yang lain terkadang tidak bisa menggunakan identitas adatnya untuk memperjuangkan hak atas tanah mereka. Walaupun sebenarnya mereka adalah sama-sama petani atau menggantungkan mata pencahariannya pada lahan garapan. “Mereka sampai hari ini masih menunggu kepastian dari pemerintah untuk mendapatkan haknya. Pekerjaan rumah yang paling besar dan memberikan harapan yaitu memperkuat solidaritas untuk mereka” katanya.

Sesi foto bersama dengan beragam tagar aksi solidaritas dari berbagai daerah di Indonesia menjadi rangkaian terakhir pada kegiatan pemutaran & diskusi film “Siapa Lagi Kalau Bukan Kita” kali ini.