Skip to main content

“Siapa Lagi Kalau Bukan Kita” Gelar Pemutaran dan Diskusi Film di Fakultas Ilmu Budaya UGM

Setelah sukses melakukan pemutaran perdana film Sallombengan Seko di Palopo pada bulan Agustus lalu, INFIS kembali melakukan rangkaian pemutaran film & diskusi tentang perjuangan masyarakat adat atas haknya. Kali ini lokasi yang dipilih dalam roadshow “Siapa Lagi Kalau Bukan Kita” adalah Yogyakarta. Pada kegiatan ini, empat film diputar di Auditorium Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada pada Jumat sore (8/9). Keempat film yang diputar adalah Sallombengan Seko, Dari Para Leluhur, Penjaga Hutan Bumi Jargaria dan Harapan.

Acara yang dilakukan atas kolaborasi dengan Keluarga Mahasiswa Antropolog (KEMANT) ini dimulai pada pukul 16.00 WIB. Dibuka langsung oleh Kepala Departemen Antropologi, Bambang Hudayana. Dalam sambutannya ia menyambut positif dan menyatakan bahwa kegiatan ini selaras dengan visi misi Departemen Antropologi UGM. Mampu memberi pembelajaran untuk mencermati permasalahan global terutama perubahan iklim.

Setelah pemutaran film, acara dilanjutkan dengan sesi diskusi yang dimoderatori oleh Hariara Simanjuntak, salah satu mahasiswa Antropologi UGM saja menyelesaikan studinya. Prof. P.M. Laksono, yang hadir sebagai pembicara menyampaikan pandangannya, bahwa tidak akan ada gerakan tanpa perempuan dalam perjuangan masyarakat adat, khususnya di Indonesia. Guru besar yang banyak melakukan penelitian tentang kearifan masyarakat lokal dan masyarakat adat ini memandang perjuangan perempuan adalah peran yang sangat diperhitungkan. “Karena peran mereka dalam gerakan sosial adalah sebagai ujung tombak atau supporter. Artinya, gerakan sosial menjadi besar karena perempuan” ujarnya.

Staff pengajar jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan UGM yang juga menjadi salah satu pembicara, Dr. Ahmad Maryudi, bahkan menambahkan tentang isu konflik Masyarakat Adat dari sudut pandang yang berbeda. “Bagaimana ideologi kehutanan akhinya memarginalisasi masyarakat adat menjadi hal yang menarik. Ada kecenderungan dalam melakukan konservasi kawasan hutan ataupun memberikan izin eksploitasi kawasan hutan kepada perusahaan, sama-sama mengabaikan hak-hak masyarakat adat” katanya.

Selama kegiatan berlangsung, mahasiswa yang hadir tidak hanya dari jurusan antropologi tetapi juga berasal dari jurusan sastra. Mahasiswa dari Fakultas Hukum, Fakultas Teknik dan Fakultas Kehutanan juga ikut hadir. Mahasiswa dari luar kampus UGM juga hadir pada hari itu, yaitu dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta, School of Multi-Media (MMTC) Yogyakarta dan University of Manitoba, Kanada.

Excecutive Director Indonesia Nature Film Society (INFIS) Een Irawan Putra menyampaikan bahwa melalui acara road show ke kampus-kampus ini, para akademisi bisa membantu perjuangan masyarakat adat atas hak wilayah adatnya. “Peranan para akademisi sangat penting dalam melakukan kajian-kajian tentang keberadaan masyarakat adat di wilayahnya sehingga bisa memberikan rekomendasi kepada pemerintah daerah ataupun kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar wilayah adat yang sudah terbukti kerberadaannya adalah milik masyarakat adat tersebut, dikeluarkan dari kawasan hutan negara” katanya.