Skip to main content

Masyarakat Adat dan Janji Kedaulatan yang Tak Kunjung Nyata

Berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya adalah cita-cita yang ingin diraih oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) semenjak organisasi tersebut didirikan di tahun 1999. Tujuh belas tahun sudah berlalu, namun cita-cita tersebut masih terkatung-katung menunggu kepastian pemerintah Indonesia untuk mensahkan Undang-Undang masyarakat adat yang masih tersendat di DPR. Melalui momen Hari Masyarakat Adat Internasional (HIMAS) 2016 yang dirayakan diseluruh dunia, AMAN kembali mengingatkan pemerintah untuk segera menyelesaikan janjinya yang tertunda.

“Lewat perayaan ini kita ingin terus mendesak Pemerintah, DPR dan DPD RI agar Undang-Undang Tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (RUUPPHMA) menjadi RUU Prioritas untuk dibahas dan disahkan pada masa persidangan di tahun 2017. Selain itu AMAN mendesak Presiden Jokowi agar Satgas Masyarakat Adat segera dibentuk”, tegas Abdon Nababan, Sekjen AMAN pada pidato pembukaan Festival Masyarakat Adat Nusantara yang diselenggarakan di Museum Nasional Jakarta 9 Agustus 2016 lalu.

Perayaan HIMAS 2016 kali ini diperingati oleh AMAN dengan mengusung tema Pendidikan, Kebudayaan dan Spiritualitas Masyarakat Adat. Melalui tema ini, kita diingatkan pada pentingnya pendidikan yang sesuai dengan budaya, spritualitas dan kepentingan masyarakat adat. Karena pendidikan merupakan hak seluruh warga negara Indonesia dan pemerintah wajib memastikan sebuah sistim pendidikan bebas diskriminasi. Oleh karena itu, masyarakat adat harus mendapatkan akses terhadap layanan pendidikan yang selaras dengan budaya dan dalam bahasa ibu yang mereka kuasai.

Meskipun berbagai instrumen internasional dan hukum nasional sudah mengamanatkannya, namun pada kenyataannya hak atas pendidikan belum dinikmati sepenuhnya oleh sebagian besar masyarakat adat. Data yang tersedia menunjukkan bahwa di seluruh dunia masih terdapat perbedaan mencolok antara masyarakat adat dengan masyarakat umum terkait akses terhadap pendidikan, daya serap pelajaran dan prestasi. Sektor pendidikan tidak hanya mencerminkan sejarah kekerasan, diskriminasi dan marjinalisasi yang diderita oleh masyarakat adat, tetapi juga merefleksikan perjuangan atas kesetaraan dan penghormatan yang layak atas hak-hak mereka sebagai kelompok, sebagai komunitas masyarakat adat, maupun sebagai individu warga negara.

Bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, AMAN bersama dengan perwakilan-perwakilan masyarakat adat dari berbagai daerah di Indonesia, para pegiat seni budaya, dan organisasi-organisasi pendukung gerakan masyarakat adat menggelar Pekan Masyarakat Adat Nusantara yang berlangsung sejak tanggal 7 s.d. 9 Agustus di Jakarta. Acara yang dibuka melalui pawai budaya masyarakat adat melibatkan sekitar 400 orang masyarakat adat yang bergabung dengan warga Jakarta melakukan long march dari Bundaran HI dan berakhir di Museum Nasional Jakarta. Selain diisi oleh seminar nasional mengenai Hak atas Pendidikan, Budaya dan Spiritualitas dalam RUU Masyarakat Adat, acara ini juga diramaikan oleh kegiatan pameran karya cipta seni masyarakat adat, bengkel kerja seni tradisional kontemporer, diskusi dan pemutaran film dokumenter masyarakat adat dengan dihibur oleh musik panggung budaya nusantara.

Pada kegiatan diskusi dan pemutaran film Indonesia Nature Films Society (INFIS) bekerjasama dengan Lifemosaic menayangkan beberapa film yang diproduksi untuk kampanye global “Siapa Lagi Kalau Bukan Kita”. Film Semunying menjadi salah satu film yang diangkat dalam diskusi. film yang menceritakan mengenai konfik kelapa sawit dengan masyarakat Dayak Iban di Kabupaten Bengkayang di Kalimantan Barat.

Semunying yang Tak Hening

Sejak tahun 2004 lahan masyarakat adat Semunying Jaya dirampas oleh PT. Ledo Lestari, anak perusahaan dari PT. Duta Palma Nusantara Group. PT Ledo Lestari melakukan aktivitas pembabatan hutan adat dan hutan produksi dengan cara membakar lahan dalam proses land clearing. Padahal, di dalam hutan adat seluas 1.420 hektar tersebut terdapat kuburan tua, sumber air bersih, situs keramat serta berbagai jenis tanaman masyarakat lainnya. Pada 15 Desember 2009, Bupati Bengkayang telah mengukuhkan kawasan tersebut menjadi hutan adat warga Semunying Jaya. Penguasaan lahan adat oleh PT. Ledo Lestari jelas menutup akses masyarakat adat ke hutan tersebut.

Perampasan lahan yang dilakukan oleh PT. Ledo Lestari terhadap masyarakat adat Semunying Jaya bukanlah tanpa perlawanan. Berbagai cara telah dilakukan oleh masyarakat adat Semunying Jaya untuk menghentikan aktivitas PT. Ledo Lestari dan mendapatkan ganti rugi. Ibu Margareta, sebagai salah satu narasumber diskusi dan perwakilan masyarakat adat yang menjadi korban konflik kelapa sawit di Semunying, turut membagi pengalamannya terkait film tersebut. “Hingga saat ini tidak ada seujung jarum pun kami terima atas ganti rugi perampasan lahan kami. Kami sudah membawa kasus ini ke pengadilan namun pengadilan negeri Bengkayang tidak mengabulkan permohonan tuntutan kami.”***