Skip to main content

#SaveSeko Bagian Tiga: Perjuangan Kaum Perempuan Seko

Oleh : Een Irawan Putra

Walaupun kondisi jalan dari Kampung Hoyane ke Kampung Pokapaang penuh lumpur dan licin karena memasuki musim hujan, beberapa bulan lalu kaum perempuan dari Hoyane tidak surut semangatnya untuk bergabung dengan kaum perempuan dari Pohoneang, Malino, Harana’, Pasangkalua’ dan Pokapaang. Dengan membawa serta anak-anaknya dan berbagai peralatan masak dan peralatan menginap mereka menerobos jalanan yang berlumpur. Butuh waktu sekitar  dua jam berjalan kaki untuk tiba di Pokapaang.

Lebih dari 400 perempuan menduduki Puriliang, salah satu titik survey geologi di Pokapaang yang dilakukan oleh PT Seko Prima Power. Secara bergantian selama dua bulan mereka menjaga alat-alat perusahaan agar tidak digunakan untuk mengebor tanah mereka. Ini dilakukan karena para kaum laki-laki penggerak perjuangan masyarakat Seko sudah ditahan di dalam penjara di Masamba. “Kami mendirikan tenda dan tidur di titik pengeboran tersebut. Kami satu perjuangan” kata Hasmin Tarundu (45) dari Dusun Malino, Desa Tanamakaleang. Ia bersama enam perempuan lainnya mengajak kami melihat lokasi survey dan tempat mereka mendirikan tenda di Puriliang.

Hasmin menceritakan, pada saat itu semua perempuan di kampung-kampung tergerak untuk menduduki lokasi survey dan menghentikan aktivitas perusahaan. Mereka saling pengertian satu sama lain. Jika ada yang memiliki kerjaan di rumahnya untuk mengurus anak dan suaminya, mereka akan pulang dulu ke rumah lalu keesokan harinya bergabung kembali. Begitu juga jika ada yang kurang sehat atau sakit, disarankan untuk kembali ke rumah. Di lahan yang miring ini mereka mendirikan tenda-tenda untuk berteduh dan tidur pada malam harinya. Secara bergantian juga mereka memasak untuk sarapan, makan siang dan makan malam. Beras, sayur, lauk pauk dan bumbu-bumbu masakan mereka bawa dari kampungnya masing-masing. Ada tujuh dapur tempat memasak yang mereka buat tidak jauh dari tenda-tenda mereka.

Dua bulan perusahaan tidak bisa bekerja saat itu. Merasa terganggu aktivitasnya, perusahaan memanggil polisi untuk membubarkan kaum perempuan yang menghalangi aktivitas perusahaan. Tepat pada tanggal 27 Maret 2017, lima orang polisi dan satu orang anggota TNI datang melalui atas punggungan tempat mereka melakukan aksi. Sarah Restin (27), anak bungsu Peter Karla maju menghadapi para aparat yang datang. “Saya saat itu sedang makan ketika aparat ini datang. Saya langsung berdiri dan menemui mereka. Ada apa ini pak?” katanya. “Kami datang kesini ingin membubarkan ibu-ibu. Karena kami sudah beberapa kali minta ibu-ibu bubar dan pulang ke rumah masing-masing. Karena perusahaan mau bekerja. Tahap survey sudah mau selesai” jawab seorang polisi yang ditemui Sarah. Ia juga menyampaikan satu anggota TNI yang datang adalah bernama Hendrik.

Para kaum perempuan tetap mengelilingi peralatan bor perusahaan sambil memegang spanduk yang bertulisakan “Kami Tetap Menolak, Tanah Ini Harga Mati Kami”. Polisi mendekat dan mencoba membubarkan kerumunan perempuan. Mereka juga mencabut tiang-tiang tenda tempat kaum perempuan dan anak-anak berteduh sambil membentak dan mengintimidasi. “Kalian pulang, jika tidak pulang akan saya tembak” kata salah satu polisi yang ditirukan oleh Sarah. Salah satu perempuan yang sudah tua berdiri ketakutan dan menyampaikan ke Sarah bahwa ia ingin pulang. Setelah Sarah mempersilahkan pulang, perempuan tua tersebut mengambil tasnya dan pulang. Ketika mereka mau merekam apa yang dilakukan polisi dengan kamera yang ada di telepon pintar mereka, seorang polisi memarahi mereka. “Jangan ada yang merekam, jika ada yang merekam saya tembak” Sarah menirukan suara polisi tersebut.

Disaat yang lain tidak mau pulang, polisi langsung menembakkan 3 tembakan gas air mata. Setelah penembakan itu, kaum perempuan berhamburan karena mata mereka perih dan sulit bernafas. Sambil menangis mereka mencoba membantu perempuan yang sudah tua dan tidak bisa melihat. Satu orang perempuan saat itu pingsan dan sempat terinjak-injak oleh yang lain.

“Dua hari setelah penembakan gas air mata dan pembubaran oleh polisi, orang perusahaan kembali bekerja dikawal oleh polisi. Setelah itu kami tidak datang-datang lagi ke lokasi pengeboran karena kami takut ditangkap” kata Lorina (31) yang juga ikut ke lokasi pengeboran. Lorina juga menyampaikan bahwa mereka tidak kembali ke lokasi pengeboran setelah penembakan gas air mata bukan karena menyerah, tetapi karena takut ditangkap dan mendapat ancaman dari polisi. “Kami selalu ditanya dan dibentak, siapa ketua dan siapa penggeraknya” katanya. Lorina dan ratusan perempuan yang ikut aksi saat itu benar-benar merasakan trauma dan ketakutan hingga saat ini terhadap polisi dan TNI.